Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kelimpahan Fitoplankton
By : Oceanna Al-Bahry
Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kelimpahan Fitoplankton
(Sumber gambar : Mongabay.co.id)
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan planton terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Faktor fisika : cahaya, temperatur air, kekeruhan atau kecerahan, pergerakan air
2. Faktor Kimia : oksigen terlarut, PH, salinitas, nutrisi
Faktor fisika yang mempengaruhi plankton adalah
· Cahaya
Cahaya matahari merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan fitoplankton. Proses fotosintesis hanya mungkin dapat dilakukan oleh fitoplankton jika intensitas cahaya matahari mencukupi. Ini berarti fitoplankton sangat membutuhkan cahaya matahari dalam proses hidupnya. Jeluk air yang ditembus oleh cahaya dan jeluk tempat fotosintesis berlangsung dipengaruhi oleh penyerapan cahaya dalam kolum air, panjang gelombang cahaya, transparansi, pantulan dari permukaan air, letak lintang, dan musim. Intensitas cahaya diatas 50 % dan dibawah 50 % kemelimpahan fitoplankton sangat sedikit. Hal ini akan menyebabkan proses fotosintesis tidak berjalan dengan maksimal. Ada dua hal yang yang mendukung fenomena ini yaitu, pada intensitas cahaya yang tinggi, fotosintesis pada alga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena intensitas cahaya yang tinggi akan merusakkan klorofil, sehingga proses fotosintesis akan mengalami gangguan dan tidak berjalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya jika intensitas cahaya sangat rendah, maka proses fotosintesisnya juga tidak berjalan dengan baik, karena jumlah cahaya yang tidak mencukupi untuk melakukan proses fotosintesis (Castro dan Huber 2000; Goldman dan Horne 1983; Lionard 2005; Nybakken 1992).
Menurut Lerman (1986), di perairan samudra intensitas cahaya (sinar biru) dapat masuk sampai ke kedalaman 100 m. Perairan pantai atau paparan benua intensitas cahaya dapat masuk sampai ke kedalaman 20 m. Sedangkan di estuari secara umum adalah 1-6 m (Gambar 3). Akan tetapi hal ini juga sangat berkaitan erat dengan turbiditas estuari tersebut. Semakin tinggi turbiditasnya maka penetrasi cahaya yang masuk semakin sedikit, begitu juga sebaliknya. Setiap jenis fitoplankton memiliki perbedaan intensitas cahaya yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis (Cabrita et al, 1999; Castro dan Huber 2000; Lerman 1986; Nybakken 1992; Sumich 1999).
· Salinitas
Salinitas di estuari berfluktuatif secara dramatis dari waktu ke waktu. Ketika air laut dengan salinitas sekitar 35 ‰ bercampur dengan air tawar yang berasal dari sungai dengan salinitas 0 ‰. Proses percampuran ini kemudian membentuk gradien salinitas yaitu 5-30 ‰ yang merupakan nilai salinitas di estuari normal. Untuk dapat bertahan hidup di ekosistem estuari yang memiliki banyak variabel, fitoplankton yang hidup di estuari harus dapat beradaptasi dan bertoleransi dengan adanya fluktuasi salinitas. Distribusi dan kemelimpahan fitoplankton di estuari secara kontinyu berubah akibat adanya perubahan salinitas dalam waktu yang singkat, seperti pada saat masuknya aliran air tawar, pasang surut, dan masuknya air karena hujan. Sedangkan dalam jangka waktu yang lama, seperti naik dan turunnya permukaan air laut karena mencairnya es di kutub (Castro dan Huber 2000; Lerman 1986; Nybakken 1993; Sumich 1999).
Air laut yang asin selalu berada di bawah, dan mengalir membentuk lapisan garam. Lapisan garam ini bergerak mundur seterusnya mengikuti ritme pasang surut. Lapisan garam akan bergerak naik ke permukaan estuari pada saat pasang dan kemudian kembali pada saat surut. Jika suatu area yang mengalami pasang surut pada siang hari, maka organisme akan mengalami dua kali perubahan salinitas (Castro dan Huber 2000; Nybakken 1993; Sumich 1999).
· Turbiditas
Jumlah partikel-partikel suspensi yang terdapat dalam air di estuari pada setiap tahunnya adalah sangat besar, oleh sebab itu turbiditas di estuari sangat tinggi. Tingginya turbiditas terjadi pada saat tingginya suplai air dari sungai. Secara umum turbiditas rendah di sekitar mulut estuari, dimana jumlah air laut lebih besar. Pengaruh turbiditas adalah menyebabkan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air sangat rendah. Hal ini akan menyebabkan penurunan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Pada akhirnya hal ini akan mengurangi produktivitas estuari tersebut. (Castro dan Huber 2000, Nybakken 1993, and Sumich 1999).
· Nutrien
Tidak hanya carbon dioxida, air dan sinar matahari yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis. Banyak nutrien yang dibutuhkan fitoplankton untuk pertumbuhan dan reproduksi terutamanitrat (NO3-), ammonium (NH4+) dan phosphat (PO43-). Produktifitas primer yang dilakukan oleh fitoplankton sangat membutuhkan nutrien dalam jumlah besar. Nutrien yang paling banyak dibutuhkan adalah nitrogen dan phosphat. Nitrogen dibutuhkan untuk membuat asam amino dan asam nukleat, sedangkan phosphat diperlukan untuk membuat tenaga (ATP). Sehingga nutrien merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Selain nitrogen dan phosphat, fitoplankton juga membutuhkan bahan organik yang lainnya yaitu C, H, O, dan vitamin. Di lokasi yang nutriennya melimpah akan direspon dengan melimpahnya fitoplankton.
Fitoplankton memiliki mekanisme respon terhadap phosphat. Pada saat konsentrasi phosphat di perairan rendah maka fitoplankton akan mengeluarkan enzim alkaline phosphatases. Enzim ini dikeluarkan untuk membebaskan phosphat dari molekul organik. Ketika di perairan konsentrasi phosphatnya tinggi maka fitoplankton akan merespon dengan mekanisme luxury consumption. Mekanisme ini adalah mengambil PO4 dari perairan dan menyimpan phosphat tersebut dalam sel dalam bentuk granula PO4, dan akan digunakan jika kondisi phosphat di lingkungan sedikit atau kurang. Genus fitoplankton yang dapat melakukan Luxury consumption adalah Asterionella, selenastrum, dan cyclotella (Goldman dan Horne 1983)
· Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton. Intensitas cahaya dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan fitoplankton, sepanjang meningkatnya suhu. Reaksi fotosintesis pada fitoplankton memiliki batasan intensitas cahaya. Reaksi ini memiliki suhu tersendiri, kecuali suhu di bawah 5 0 C. Interaksi antara cahaya dan temperatur akan memberikan gambaran profil vertikal dari distribusi fitoplankton. Fitoplankton terdistribusi berdasarkan intensitas cahaya dan suhu. Suhu minimal fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis adalah 5 0 C. Semakin tinggi suhu dan semakin tinggi intensitas cahaya, maka proses fotosintesis semakin tinggi. Suhu maksimal fitoplankton melakukan fotosintesis adalah 300 C. Ini menggambarkan fitoplankton terdistribusi di gradien suhu dari 5 – 300 C. (Wetzel 2000).
Faktor kimia yang mempengaruhi plankton adalah
· Oksigen terlarut
Oksigen terlarut diperlukan oleh tumbuhan air, plankton dan fauna air untuk bernapas serta diperlukan oleh bakteri untuk dekomposisi. Dengan adanya proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri menyebabkan keadaan unsur hara tetap tersedia di perairan. Hal ini snagat menunjang pertumbuhan air, plankton dan perifiton (Mujib, 2010).
· PH
Derajat keasaman (ph) berpengaruh sangat besar terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan air sehingga sering digunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik atau tidaknya kondisi air sebagai media hidup.Apabila derajat keasaman tinggi apakah itu asam atau basa menyebabkan proses fisiologis pada plankton terganggu (Mujib, 2010).
· Salinitas
Salinitas berperanan penting dalam kehidupan organisme, misalnya distribusi biota akuatik.Menyatakan bahwa pada daerah pesisir pantai merupakan perairan dinamis, yang menyebabkan variasi salinitas tidak begitu besar. Organisme yang hidup cenderung mempunyai toleransi terhadap perubahan salinitas sampai dengan 15 ‰ (Nybakken 1992).
· Nutrisi
Nutrisi sangat berperan penting untuk pertumbuhan plankton, nutrisi yang paling penting dalam hal ini adalah nitrat ( NO3 ) dan phosphat ( PO4 ) phytoplankton mengkonsumsi nitrogen dalam banyak bentuk, seperti nitrogen dari nitrat, ammonia, urea, asam amino. Tetapi phytoplankton lebih cendrung mengkonsumsi nitrat dan ammonia. Nitrat lebih banyak didapati di dasar yang banyak mengandung unsur organik ketimbang dari air laut, nitrat juga bisa diperoleh dari siklus nitrogen. Nitrogen dari nitrat adalah salah satu unsur penting untuk pertumbuhan blue green alga dan phytoplankton lainnya (Mujib, 2010).
Baca juga artikel menarink mengenai laporan lengkap phytoplankton dan Daphnia : si kutu air raksasa untuk menambah wawasan.
Dan semoga artikel ini bisa bermanfaat jangan lupa share dan tinggalkan komen di bawah. salam bahari 🐬🐠🐟🐋😄
Baca juga artikel menarink mengenai laporan lengkap phytoplankton dan Daphnia : si kutu air raksasa untuk menambah wawasan.
Dan semoga artikel ini bisa bermanfaat jangan lupa share dan tinggalkan komen di bawah. salam bahari 🐬🐠🐟🐋😄
Mengenal Daphnia magna : si kutu air raksasa
By : Oceanna Al-Bahry
Daphnia merupakan udang-udangan yang telah beradaptasi pada kehidupan badan perairan yang secara periodik mengalami kekeringan. Oleh karena itu, dalam perkembangbiakannya (seperti halnya Artemia) dapat dihasilkan telur berupa kista maupun anak yang "dilahirkan". Telur berupa kista ini dapat bertahan sedemikian rupa terhadap kekeringan dan dapat tertiup angin kemana-mana, sehingga tidak mengherankan kalau tiba-tiba dalam genangan air disekitar rumah kita ditemukan Daphnia.
Menurut Pennak (1989), klasifikasi Daphnia magna adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Branchiopoda
Subkelas : Diplostraca
Ordo : Cladocera
Subordo : Eucladocera
Famili : Daphnidae
Subfamili : Daphnoidea
Genus : Daphnia
Spesies : Daphnia magna.
Jika di laut
Daphnia ini termasuk dalam holoplankton karena selama hidipnya dia bersifat
planktonik dan hanya memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil. Dalam keadaan
normal, dimana kualitas air sesuai dan jumlah pakan cukup terdia Daphnia akan
manghasilkan keturunannya tanpa kawin (aseksual/parternogenesis). Dalam
kondisi demikian hampir semua Daphnia yang ada adalah betina. Telur yang
tidak dibuahi ini berkembang sedemikian rupa dalam kantung telur di tubuh
induk, kemudian berubah menjadi larva. Seekor Daphnia betina bisa
menghasilkan larva setiap 2 atau 3 hari sekali. Dalam waktu 60 hari
seekor betina bisa menghasilkan 13 milyar keturunan, yang semuanya
betina. Tentu saja tidak semua jumlah ini bisa sukses hidup hingga dewasa,
keseimbangan alam telah mengaturnya sedemikian rupa dengan diciptakannya
berbagai musuh alami Daphnia untuk mengendalikan populasi mereka.
Daphnia muda mempunyai bentuk mirip dengan bentuk dewasanya tetapi belum
dilengkapi dengan "antena" yang panjang.
Apabila
kondisi lingkungan hidup tidak memungkinkan dan cadangan pakan menjadi sangat
berkurang, beberapa Daphnia akan memproduksi telur berjenis kelamin
jantan. Kehadiran jantan ini diperlukan untuk membuahi telur, yang
selanjutnya akan berubah menjadi telur tidur (kista/aphippa). Seekor
jantan bisa membuahi ratusan betina dalam suatu periode. Telur hasil
pembuahan ini mempunyai cangkang tebal dan dilindungi dengan
mekanisme pertahanan terhadap kondisi buruk sedemikian rupa. Telur
tersebut dapat bertahan dalam lumpur, dalam es, atau bahkan kekeringan.
Telur ini bisa bertahan selama lebih dari 20 tahun dan menetas setelah
menemukan kondisi yang sesuai. Selanjutnya mereka hidup dan berkembang
biak secara aseksual. Dan begitu seterusnya. Gambar berikut menunjukkan
ilustrasi siklus hidup Daphnia seperti diuraikan diatas.
Baca juga artikel menarink mengenai phytoplankton untuk menambah wawasan.
Dan semoga artikel ini bisa bermanfaat jangan lupa share dan tinggalkan komen di bawah. salam bahari 🐬🐠🐟🐋😄
Dan semoga artikel ini bisa bermanfaat jangan lupa share dan tinggalkan komen di bawah. salam bahari 🐬🐠🐟🐋😄
Cacing tabung aneh hanya hidup laut dalam Indonesia
By : Oceanna Al-Bahry
(sumber : araku.ac.ir)
Cacing tabung aneh laut terdalam
Pada tahun 1900, cacing tabung yang tinggal aneh itu dikeruk dari perairan dalam di sekitar Indonesia. Sementara agak menyerupai tabung yang tinggal annelida, ia tidak memiliki segmentasi yang jelas, bahkan lebih anehnya, ia juga tidak memiliki mulut, usus, atau anus. Ini adalah penemuan pertama dari Pogonophora, sebuah filum hewan terbatas pada laut dalam dan sangat umum di habitat tertentu di sana.
Sekitar 80 pogonophoran spesies yang dikenal saat ini, dengan spesies baru masih ditemukan. Salah satu penemuan zoologi paling spektakuler tahun belakangan ini adalah temuan pada tahun 1977 cacing raksasa pogonophoran, 1,5 meter panjang, tumbuh di air dipanaskan, belerang-kaya di sekitar air hangat ventilasi di Samudra Pasifik, 2600 meter di bawah permukaan (digambarkan di kanan). Cacing ini kadang-kadang ditempatkan dalam filum mereka sendiri, Vestimentifera, tetapi mereka mirip dengan pogonophorans dalam banyak hal, dan kecenderungan saat ini adalah untuk mengelompokkan keretakan-cacing tinggal bersama-sama dengan sisa Pogonophora menjadi satu filum.
The Pogonophora nama Yunani untuk "jenggot-pembawa," dan berasal dari fakta bahwa banyak spesies memiliki dari satu ke banyak tentakel di ujung anterior. Ini tentakel agak menyerupai lophophore ditemukan pada hewan seperti brakiopoda dan bryozoa, serta tentakel makan dari chordates tertentu. Anatomi tidak lengkap diketahui dari pogonophorans ditafsirkan untuk menunjukkan bahwa pogonophorans adalah kerabat chordate. Karena pogonophorans hidup dengan berakhir lebih rendah terkubur dalam lumpur, dan rusak selama proses pengerukan, itu tidak sampai 1964 bahwa pogonophoran lengkap telah pulih. Ternyata pogonophorans memiliki ujung posterior tersegmentasi tubuh - opisthosoma tersebut - yang dikenakan setae dan menyerupai tubuh Annelida. Bagian depan dari tubuh, atau prosoma, adalah unsegmented. Karena opisthosoma tersegmentasi, dan karena pogonophoran larva telah ditemukan terlihat sangat mirip larva annelida, pogonophorans sekarang dianggap sebagai kerabat dekat dari annelida, dan diklasifikasikan dengan mereka dalam kelompok yang lebih besar, para Trochozoa.
Bagaimana pogonophorans pakan tanpa mulut atau usus? Beberapa nutrisi disediakan dengan menyerap nutrisi langsung dari air dengan tentakel. Tapi sebagian besar nutrisi yang pogonophoran yang disediakan oleh bakteri simbiotik yang hidup di dalam cacing, dalam organ khusus yang dikenal sebagai trophosome yang berkembang dari usus embrio. Di dalam trophosome tersebut, bakteri ini mengoksidasi sulfur yang mengandung senyawa seperti hidrogen sulfida, yang pogonophorans menyerap melalui tentakel mereka - warna merah terang dari celah-tinggal tentakel pogonophoran adalah karena hemoglobin, yang menyerap baik sulfida dan oksigen untuk penggunaan bakteri. Bakteri memperoleh energi dari oksidasi sulfur, yang mereka gunakan untuk memperbaiki karbon menjadi molekul organik yang lebih besar, di mana feed pogonophoran.
Catatan fosil dari pogonophorans dapat memperpanjang kembali ke Periode Vendian, tabung tipis panjang yang dikenal sebagai sabelliditids telah ditemukan di batuan dari usia itu, dan agak menyerupai tabung pogonophoran. Namun, penelitian pada struktur sabelliditid telah terbukti meyakinkan dalam menentukan apa fosil itu. Sebuah fosil yang pogonophoran-seperti tabung telah muncul dalam bentuk deposito kemudian (misalnya Adegoke 1967), namun pogonophorans umumnya cukup langka sebagai fosil.
Juga, dikenal sebagai A filum yang sama sekali tidak diketahui sampai abad
kedua puluh "Cacing Beard.". Mereka adalah tabung yang tinggal
cacing, yang ditemukan di seluruh lautan di dunia. Mereka ditemukan di laut
dalam lubang angin hidrotermal dan merembes air dingin pada kedalaman 200m atau
lebih. Dari semua 120 spesies sejauh dijelaskan, semua kelautan. Mereka adalah
sessile, hidup dalam tabung chitinous panjang. Pogonophora meluas membanggakan
nya (akhir anterior) keluar untuk mendapatkan beberapa nutrisi dan fungsi dalam
pertukaran gas. Biasanya pogonophora adalah antara 5 - 20 cm panjang dan 1 mm,
meskipun ada penemuan Vestimenferians yang sampai 1,5 m panjang dan 4 cm
diameter.
Mereka memiliki tubuh
yang terdiri dari segumpal tentakel digunakan untuk memperoleh nutrisi dan
hidrogen sulfida, sebuah daerah kelenjar yang berisi gonad mereka dan membuat
mereka stabil dalam tabung mereka, sebuah daerah batang, yang merupakan bagian
terpanjang dari tubuh pogonophoran, dan berisi sepasang rongga selom terganggu,
sejumlah papila, 2 wilayah rekonsiliasi, dan 2 girdle dari setae, dan
opisthoma, atau wilayah bulat kecil, yang tersegmentasi dan digunakan untuk
menggali ke dalam substrat. Opisthoma ini tidak ditemukan untuk menjadi bagian
dari anatomi pogonophora sampai pertengahan tahun enam puluhan.
Mereka gonochoristic, yang berarti bahwa mereka memiliki dua jenis kelamin yang
berbeda. Mereka lebih suka maju sistem peredaran darah dan saraf. Sistem
peredaran darah mereka ditutup dan termasuk jantung kompleks. Mereka memiliki
otak kecil dan saraf kabelnya ventral yang mencapai dari otak mereka ke dalam
opisthoma mereka. Mereka berkembang secara protostomic dan tubuh mereka
mengandung sepasang rongga selom. Yang menarik untuk dicatat di sini adalah
bahwa mereka tidak baik usus dan mulut. Sebaliknya, mereka telah mengembangkan
sebuah organ yang dikenal sebagai trophosome, yang dipenuhi dengan bakteri
chemoautotrophic, yang hidup dalam hubungan simbiosis mutualistically dengan cacing.
Karena cacing hidup di
samping ventilasi hidrotermal, yang melepaskan hidrogen sulfida, mereka telah
beradaptasi tiga jenis hemoglobin untuk mentransfer sulfat ke trophosome mereka
untuk dikonversi menjadi karbohidrat oleh bakteri. Warna merah mencolok bulu
mereka adalah karena jumlah besar hemoglobin dalam tentakel mereka untuk tujuan
ini. Hemoglobin pogonophoran dapat secara bersamaan dan reversibel mengikat
oksigen dan sulfida di dua lokasi yang berbeda. Dengan demikian, hemoglobin
melindungi jaringan hewan dari toksisitas sulfida dengan mengikat sulfida
dengan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan oksidase sitokrom c, yang
bertanggung jawab atas efek racun.
Pogonophora berada di
saat dianggap filum mereka sendiri, namun hal ini telah datang ke pertanyaan
baru-baru ini dengan kedua penemuan wilayah tersegmentasi dari tubuh mereka,
opisthoma, dan studi yang menghubungkan urutan alpha factor-1 elongasi untuk
menjadi serupa dengan yang ditemukan dalam Annelida Filum. Bahkan, dalam buku
teks kita sendiri (Pechenik), Pogonophora terdaftar sebagai kelas dalam
Annelida Filum.
Tag :
Marine Biology,
Marine ivertebrates,
LAPORAN PRAKTIKUM PLANKTONOLOGI IDENTIFIKASI KELAS BACILLARIOPHYCEAE
By : Oceanna Al-Bahry
BAB
I.
PENDAHULUAN
11.1 Latar Belakang
Istilah
palankton pertama kali digunakan oleh
Victor Hensen pada tahun1887, dan disempurnakan oleh Haeckel pada tahun 1890.
Kata plankton berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengembara. Defenisi
tentang plankton telah banyak di kemukan oleh para ahli dengan pendapat yang
hampir sama, yakni seluruh kumpulan organisme, baik hewan maupun tumbuhan yang
hidup terapung atau melayang di atas air, tidak dapat bergerak ataudapat
bergerak sedikit dan tidak dapat melawan arus.
Fitoplankton
merupakan tumbuhan planktonik berklorofil yang umumnya terdiri atas
Bacillariphyceae, Chlorophyceae, Dinophyceaea, Haptophyceae. Selain
berklorofil, fitoplankton juga memiliki bahan cadangan makanan yang umunya
berupa pati atau lemak, dinding sel yang tersusun dari selulosa,
serta bentuk flagel yang beragam.
Fitoplakton membentuk sejumlah besar biomassa di laut, sehingga sangat
memberikan efek yang besar dalam produktivitas primer lingkungan laut
(Romimohtarto,1999).
Diatom merupakan alga mikroskopik uniseluler yang
memiliki kandungan silica pada
dinding selnya (frustule) (Smith, 1950 dan Lee, 1989 dalam Fitri,
2011). Diatom merupakan fitoplankton dengan
kelimpahan tertinggi diperairan. Mikroalga ini diketahui memiliki tipe
heteromorphy, yaitu perbedaan morfologi dalam satu spesies akibat respon terhadap
perubahan lingkungan. Perubahan
kondisi lingkungan akan mendorong perubahan
bentuk morfologi diatom,
terutama perubahan morfologi valve (Hastle and
Syvertsen, 1997 dalam Fitri, 2011).
1.2 Tujuan
Manfaat
Dapat mempelajari dan mengamati serta dapat
mengidentifikasi sampai tingkat genus dan famili. Serta dapat mengenal
pembedaan diatom yang berasal dari muara, perairan pantai dan estuari.
1.3 Manfaat
·
Mampu
mengidentifikasi jenis – jenis fitoplangton dari kelas Basillariophyceae, baik
yang bersifat epipelic, episammic, epilitik, epiphyte, endozoic, dll.
·
Mampu melakukan
identifikasi secara benar dan tepat untuk kelas Basillariophyceae dan
membedakan antara Centric diatom dan penat diatom
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Plankton
Plankton merupakan komunitas biota yang terdiri dari
flora dan fauna dimana pergerakannya relative lemah dibandingkan dengan
kemampuannya arus untuk membawanya. (Omori dan Ikeda, 1992).
Plankton adalah makhluk hidup (hewan atau tumbuhan)
yang hidupnya mengapung, mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan
renangnya sangat terbatas hingga selalu terbawa hanyut oleh arus
(A.Nontji,2008)
Menurut Omori dan Ikeda (1992)
berdasarkan ukurannya plankton dibagi menjadi :
1. Ultrananoplankton, berukuran
< 2 m m
2. Nanoplankton, berukuran
diantara 2 - 20 m m
3. Microplankton, berukuran
diantara 20 - 200 m m
4. Mesoplankton, berukuran
diantara 200 m m - 2 mm
5. Macroplankton, berukuran
diantara 2 - 20 mm
6. Mikronekton, berukuran
diantara 20 - 200 mm
7. Megaloplankton (Plankton
Gelatin), berukuran > 20 mm
Secara fungsional,
plankton dapat digolongkan menjadi empat golongan utama, yakni fitoplankton,
zooplankton bakterioplankton dan virioplankton (A. Nontji, 2008).
Pada praktikum ini yang akan dibahas adalah mengenai fitoplankton, yaitu
plankton nabati yang berukuran mikroskopis.
2.2 Fitoplankton
Fitoplakton merupakan nama untuk plankton
tumbuhan atau plankton nabati..Ukurannya sangat kecil, tak dapat dilihat
dengan mata telanjang. Ukuran yang paling umum berkisar antara 2 ± 200
mikro meter (1 mikro meter = 0,001 mm). Fitoplankton umumnya berupaindividu
bersel tunggal, tetapi ada juga yang membentuk rantai
Fitoplankton adalah termasuk bentuk biota tanaman,
dimana bentuk biota tanaman tersebut bersifat autotrophic dan menyumbang secara
langsung terhadap keberadaan pakan di permukaan air dengan mengembangkan
protoplasmanya dan cadangan makanan secara langsung dari karbon dioksida dan
larutan garam di laut (Newell
and Newell , 1977 ). Menurut Sachlan ( 1982 ) dan Arinardi dkk ( 1997 ) yang
dimaksud dengan Fitoplankton adalah plankton nabati. Selanjutnya Sumich dan
Dudley (1992) mendefinisikan Fitoplankton adalah biotra mikroskopik, mengapung
bebas dan merupakan produser primer. Lebih lanjut ditambahkan bahwa
phytoplankton adalah biota laut photosintetik, sebagai produser primer
ekosistem laut, dan berada pada rantai pertama dari jaring – jaring makana
Fitoplankton biasanya berkumpul di zona eufotik
yaitu zona dengan intesitas cahaya masih memungkinkan terjadinya proses
fotosintesis (Arinardi dkk., 1997). Pada suatu perairan sering dijumpai
kandungan fitoplankton yang sangat melimpah akan tetapi pada tempat yang lain
sangat sedikit. Keadaan ini disebabkan oleh bermacam-macam faktor antara lain
angin, arus, nutrien, variasi kadar garam, kedalaman perairan, aktivitas
pemangsaan serta adanya percampuran massa air (Davis, 1955).
Fitoplankton hanya dapat dijumpai pada lapisan
permukaan saja karena mereka hanya dapat hidup di tempat-tempat yang mempunyai
sinar matahari yang cukup untuk melakukan fotosintesis. Mereka akan lebih
banyak dijumpai pada tempat yang terletak di daerah continental shelf dan di
sepanjang pantai dimana terdapat proses upwelling. Daerah ini biasanya
merupakansuatu daerah yang cukup kaya akan bahan-bahan organik (Hutabarat dan
Evans, 1985).
Meskipun fitoplankton membentuk sejumlah besar biomassa
di laut, kelompok ini hanya diwakili oleh beberapa filum saja yaitu Chrysophyta
(alga kuning hijau), yang meliputi Diatom dan Kokolitofor (Cocolithophore),
alga biru hijau (Cyanophyta), alga coklat (Phaeophyta) dan satu kelompok besar
dari Dinoflagellata (Pyrophyta) (Romimohtarto, 1999).
Di sini kelas Diatom (Bacillariophyceae) dan
Dinoflagellata (Dinophyceae) merupakan anggota utama fitoplankton yang terdapat
di seluruh perairan laut, baik perairan pantai maupun perairan oseanik,
sedangkan Kokolitofor (Haptophyceae) lebih sering hidup di perairan oseanik,
Crytomonad (Cryptophyceae) di perairan pantai dan gangang hijau (Chlorophyceae)
sering melimpah di perairan tropis. Ganggang lain (termasuk Silicoflagellata,
Prasinomonad, Euglenoid, dan Chloromonad) kadang-kadang sangat banyak di
pantai. (Arinardi, dkk, 1997).
2.3 Diatom
(Bacillariophyceae)
Diatom adalah tumbuhan cell tunggal yang tergolong
dalam kelas Bacilariophyceae dari phylum Bacilariophyta. Diatom bisa terdiri
dari satu cell tunggal atau gabungan dari beberapa cell yang membentuk rantai.
Biasanya terapung bebas di dalam badan air dan juga kebanyakan dari mereka
melekat (attach) pada substrat yang lebih keras. Pelekatan diatom biasanya
karena tumbuhan ini mempunyai semacam gelatin (Gelatinous extrusion) yang
memberikan daya lekat pada benda atau substrat. Kita juga kadang menemukan
beberapa diatom yang walau sangat lambat tetapi punya daya untuk bergerak
Diatom mudah dibedakan dari Dinoflagelata karena
diatom hidup dalam suatu kotak gelas yang unik dan tidak memiliki alat – alat
gerak. Kotak ini terdiri dua bagian ( epiteca dan hipoteca ) yang dinamakan
katup ( valve ). Bagian yang menyatukan kedua bagian ini disebut Girdle. Bagian
hidup diatom terdapat dalam kotak ini. Kotak terbuat dari silicon dioksida
yaitu bahan utama pembuat gelas, berhiaskan lubang – lubang besar kecil dengan
pola – pola yang khas menurut spesies Diatom.Adanya hiasan–hiasan ini menyebabkan
Diatom popular diantara mereka.yang dalam pekerjaannya menggunakan mikroskop
konvensional atau mikroskop elektronik (Nybakken, 1992)
Diatom merupakan Produsen primer yang terbanyak. Mereka
terdapat disemua bagian lautan, tetapi teramat melimpah didaerah permukaan dan
dilintang tinggi, dimana terdapat air dingin yang penuh zat hara. Biota
bersel satu ini umumnya dinamakan alga coklat emas karena warnanya. Diatom
mempunyai ukuran yang sangat beranekaragam, dari beberapa micrón sampai
beberapa milimeter. Kerangka
silikonnya menunjukkan bebtuk – bentuk dan pola – pola rumit dan halus ( Romimohtarto dan Juwana, 1999). Bentuk diatom itu
sendiri di kenal dengan cell diatom melingkar (Centric diatom) dan cell diatom
memanjang (pennate diatom).
2.4 Dinoflagellata
(Dinophyceae)
Kelompok utama kedua, Dinoflagelata dicirikan oleh
sepasang flagela yang digunakan untuk bergerak di dalam air. Dinoflagelata
tidak memiliki kerangka luar yang terbuat dari silikon, tapi sering memiliki
suatu “Baju Zirah” berupa lempeng lempeng celulosa yaitu suatu karbohidarat.
Pada umumnya dinoflagelata berukuran kecil hidup
tunggal dan jarang membentuk rantai. Sama halnya dengan Diatom, Dinoflagelata
berkembang biak melalui proses pembelahan. Beberapa Dinoflagelata seperti
Noctiluca mampu menghasilakan cahaya melalui proses Bioluminesense. Bila
Noctiluca terdapat dalam jumlah besar mereka dapat menyebabkan jalur ombak
tampak bercahaya di malam hari. Banyak Dinoflagelata seperti Noctiluca tidak
dapat berfotosintesis. Anggota Fitoplankton yang merupakan minoritas ialah
berbagai alga hijau biru, Kokolitofor dan Siliko flagelata. Cynophyceae lautan
hanya terdapat dilaut tropik dan sering kali membentuk filamen yang padat dan
mewarnai laut (Nybakken, 1992).
2.5 Faktor-faktor
Lingkungan yang Mempengaruhi Kelimpahan Fitoplankton
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan planton terbagi
menjadi dua, yaitu:
Faktor fisika :
cahaya, temperatur air,
kekeruhan atau kecerahan, pergerakan
air
Faktor Kimia :
oksigen terlarut, PH, salinitas, nutrisi
Faktor fisika yang
mempengaruhi plankton adalah
·
Cahaya
Cahaya matahari merupakan faktor yang sangat penting bagi
kehidupan fitoplankton. Proses fotosintesis
hanya mungkin dapat dilakukan oleh fitoplankton jika intensitas cahaya matahari
mencukupi. Ini berarti fitoplankton sangat membutuhkan cahaya matahari dalam
proses hidupnya. Jeluk air yang ditembus oleh cahaya dan jeluk tempat
fotosintesis berlangsung dipengaruhi oleh penyerapan cahaya dalam kolum air,
panjang gelombang cahaya, transparansi, pantulan dari permukaan air, letak
lintang, dan musim. Intensitas cahaya diatas 50 % dan dibawah 50 % kemelimpahan
fitoplankton sangat sedikit. Hal ini akan menyebabkan proses fotosintesis tidak
berjalan dengan maksimal. Ada dua hal yang yang mendukung fenomena ini yaitu,
pada intensitas cahaya yang tinggi, fotosintesis pada alga mengalami penurunan.
Hal ini disebabkan karena intensitas cahaya yang tinggi akan merusakkan
klorofil, sehingga proses fotosintesis akan mengalami gangguan dan tidak
berjalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya jika intensitas cahaya sangat
rendah, maka proses fotosintesisnya juga tidak berjalan dengan baik, karena
jumlah cahaya yang tidak mencukupi untuk melakukan proses fotosintesis (Castro
dan Huber 2000; Goldman dan Horne 1983; Lionard 2005; Nybakken 1992).
Menurut Lerman (1986), di perairan samudra
intensitas cahaya (sinar biru) dapat masuk sampai ke kedalaman 100 m. Perairan
pantai atau paparan benua intensitas cahaya dapat masuk sampai ke kedalaman 20
m. Sedangkan di estuari secara umum adalah 1-6 m (Gambar 3). Akan tetapi hal
ini juga sangat berkaitan erat dengan turbiditas estuari tersebut. Semakin
tinggi turbiditasnya maka penetrasi cahaya yang masuk semakin sedikit, begitu
juga sebaliknya. Setiap jenis fitoplankton memiliki perbedaan intensitas cahaya
yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis (Cabrita et al, 1999;
Castro dan Huber 2000; Lerman 1986; Nybakken 1992; Sumich 1999).
·
Salinitas
Salinitas di estuari berfluktuatif secara dramatis
dari waktu ke waktu. Ketika air laut dengan salinitas sekitar 35
‰ bercampur dengan air tawar yang berasal dari sungai dengan salinitas 0
‰. Proses percampuran ini kemudian membentuk gradien salinitas yaitu 5-30 ‰
yang merupakan nilai salinitas di estuari normal. Untuk dapat bertahan
hidup di ekosistem estuari yang memiliki banyak variabel, fitoplankton
yang hidup di estuari harus dapat beradaptasi dan bertoleransi dengan
adanya fluktuasi salinitas. Distribusi dan kemelimpahan fitoplankton di estuari
secara kontinyu berubah akibat adanya perubahan salinitas dalam waktu yang
singkat, seperti pada saat masuknya aliran air tawar, pasang surut, dan
masuknya air karena hujan. Sedangkan dalam jangka waktu yang lama,
seperti naik dan turunnya permukaan air laut karena mencairnya es di kutub
(Castro dan Huber 2000; Lerman 1986; Nybakken 1993; Sumich 1999).
Air laut yang asin selalu berada di bawah, dan
mengalir membentuk lapisan garam. Lapisan garam ini bergerak mundur seterusnya
mengikuti ritme pasang surut. Lapisan garam akan bergerak naik ke permukaan
estuari pada saat pasang dan kemudian kembali pada saat surut. Jika suatu area
yang mengalami pasang surut pada siang hari, maka organisme akan mengalami dua
kali perubahan salinitas (Castro dan Huber 2000; Nybakken 1993; Sumich
1999).
·
Turbiditas
Jumlah
partikel-partikel suspensi yang terdapat dalam air di estuari pada setiap
tahunnya adalah sangat besar, oleh sebab itu turbiditas di estuari sangat
tinggi. Tingginya turbiditas terjadi pada saat tingginya suplai air dari
sungai. Secara umum turbiditas rendah di sekitar mulut estuari, dimana jumlah
air laut lebih besar. Pengaruh turbiditas adalah menyebabkan penetrasi cahaya
yang masuk ke dalam air sangat rendah. Hal ini akan menyebabkan penurunan
proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Pada akhirnya hal ini
akan mengurangi produktivitas estuari tersebut. (Castro
dan Huber 2000, Nybakken 1993, and Sumich 1999).
·
Nutrien
Tidak hanya carbon
dioxida, air dan sinar matahari yang dibutuhkan untuk melakukan proses
fotosintesis. Banyak nutrien yang dibutuhkan fitoplankton untuk pertumbuhan dan
reproduksi terutamanitrat (NO3-), ammonium (NH4+)
dan phosphat (PO43-). Produktifitas primer yang
dilakukan oleh fitoplankton sangat membutuhkan nutrien dalam jumlah
besar. Nutrien yang paling banyak dibutuhkan adalah nitrogen dan phosphat.
Nitrogen dibutuhkan untuk membuat asam amino dan asam nukleat, sedangkan
phosphat diperlukan untuk membuat tenaga (ATP). Sehingga nutrien merupakan
faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Selain nitrogen
dan phosphat, fitoplankton juga membutuhkan bahan organik yang lainnya yaitu C,
H, O, dan vitamin. Di lokasi yang nutriennya melimpah akan direspon dengan
melimpahnya fitoplankton.
Fitoplankton
memiliki mekanisme respon terhadap phosphat. Pada
saat konsentrasi phosphat di perairan rendah maka fitoplankton akan
mengeluarkan enzim alkaline phosphatases. Enzim ini dikeluarkan untuk
membebaskan phosphat dari molekul organik. Ketika di perairan konsentrasi
phosphatnya tinggi maka fitoplankton akan merespon dengan mekanisme luxury
consumption. Mekanisme ini adalah mengambil PO4 dari perairan dan
menyimpan phosphat tersebut dalam sel dalam bentuk granula PO4, dan akan
digunakan jika kondisi phosphat di lingkungan sedikit atau kurang. Genus
fitoplankton yang dapat melakukan Luxury consumption adalah Asterionella,
selenastrum, dan cyclotella (Goldman dan Horne 1983)
·
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan fitoplankton. Intensitas cahaya dibutuhkan untuk meningkatkan
pertumbuhan fitoplankton, sepanjang meningkatnya suhu. Reaksi fotosintesis pada
fitoplankton memiliki batasan intensitas cahaya. Reaksi ini memiliki suhu
tersendiri, kecuali suhu di bawah 5 0 C. Interaksi antara cahaya dan
temperatur akan memberikan gambaran profil vertikal dari distribusi
fitoplankton. Fitoplankton terdistribusi berdasarkan intensitas cahaya dan
suhu. Suhu minimal fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis adalah 5 0 C. Semakin tinggi suhu dan
semakin tinggi intensitas cahaya, maka proses fotosintesis semakin tinggi. Suhu
maksimal fitoplankton melakukan fotosintesis adalah 300 C. Ini menggambarkan
fitoplankton terdistribusi di gradien suhu dari 5 – 300 C. (Wetzel 2000).
Faktor kimia yang mempengaruhi plankton adalah
·
Oksigen terlarut
Oksigen terlarut diperlukan oleh tumbuhan air, plankton
dan fauna air untuk bernapas serta diperlukan oleh bakteri untuk dekomposisi. Dengan
adanya proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri menyebabkan keadaan unsur
hara tetap tersedia di perairan. Hal ini snagat menunjang pertumbuhan air,
plankton dan perifiton (Mujib, 2010).
·
PH
Derajat keasaman (ph) berpengaruh sangat besar terhadap
tumbuh-tumbuhan dan hewan air sehingga sering digunakan sebagai petunjuk untuk
menyatakan baik atau tidaknya kondisi air sebagai media hidup. Apabila
derajat keasaman tinggi apakah itu asam atau basa menyebabkan proses fisiologis
pada plankton terganggu (Mujib, 2010).
·
Salinitas
Salinitas berperanan penting dalam kehidupan organisme,
misalnya distribusi biota akuatik. Menyatakan bahwa
pada daerah pesisir pantai merupakan perairan dinamis, yang menyebabkan variasi
salinitas tidak begitu besar. Organisme yang hidup cenderung mempunyai
toleransi terhadap perubahan salinitas sampai dengan 15 ‰ (Nybakken 1992).
·
Nutrisi
Nutrisi sangat berperan penting untuk pertumbuhan
plankton, nutrisi yang paling penting dalam hal ini adalah nitrat ( NO3 ) dan
phosphat ( PO4 ) phytoplankton mengkonsumsi nitrogen dalam banyak bentuk,
seperti nitrogen dari nitrat, ammonia, urea, asam amino. Tetapi
phytoplankton lebih cendrung mengkonsumsi nitrat dan ammonia. Nitrat lebih
banyak didapati di dasar yang banyak mengandung unsur organik ketimbang dari
air laut, nitrat juga bisa diperoleh dari siklus nitrogen. Nitrogen dari nitrat
adalah salah satu unsur penting untuk pertumbuhan blue green alga dan
phytoplankton lainnya (Mujib, 2010).
BAB III. MATERI METODE
3.1
Waktu Pelaksanaan
Hari dan Tanggal : Selasa, 19
November 2013
Waktu : Pukul
15.20 WIB
Tempat :
Taboratorium Biologi Laut Gedung E Jurusan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas
Diponegoro
3.2 Alat dan Bahan
3.1.1
Alat
No
|
Nama Alat
|
Fungsi
|
1
|
Pipet
tetes
|
Untuk mengambil sampel untuk diamati
|
2
|
Kaca
preparat
|
Sebagai tempat sampel yang akan diamati di mikroskop
|
3
|
Mikroskop
|
Digunakan untuk mengamati sampel
|
4
|
Buku
identifikasi
|
Sebagai
panduan untuk mengidentifikasi plankton
|
5
|
Alat Tulis
|
Digunakan
untuk mencatat hasil praktikum
|
6
|
Botol Sempel
|
Digunakan
untuk tempat sampel plankton
|
3.1.2
Bahan
No
|
Nama Alat
|
Fungsi
|
1
|
Sampel
Plankton
|
Sampel yang
akan diamati
|
2
|
lugol
|
Digunakan
untuk mengawetkan sampel plankton
|
3
|
Aquades
|
Untuk
membersihkan kaca preparat dan pipet tetes
|
4
|
Tissue
|
Untuk
membersihkan kaca preparat dan pipet tetes
|
3.3 Metoda
1. Mengambil sampel dari botol sampel yang sudah di kocok
2. Pengambilan sampel
menggunakan pipet tetes kemudian diletakkan pada kaca preparat
3. Letakkan
kaca preparat ke mikroskop kemudian nyalakan mikroskop
4. Amati
sampel dengan perbesaran 40 X
5. Gambar
sampel
6. Sampel
diindentifikasi dengan merujuk pada
buku identifikasi
BAB 4. HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berikut ini adalah
hasil dari identifikasi fitoplankton di stasiun 13 perairan PLTU Jepara:
Tabel 2. Jenis-jenis fitoplankton yang di temukan
NO
|
GAMBAR
|
NAMA
|
TAKSONOMI
|
1
|
Kingdom :Plantae
Divisi : Chrysophyta
Kelas : Bacillariophyceae
Ordo : Rhizosolencales
Family : Rhizosolenceae
Genus : Rhizosolenia
Spesies : Rhizosolenia sp
(Nybakken,1992)
|
||
2
|
Kingdom : Plantae
Divisi : Bacillariophyta
Kelas : Bacillariophyceae
Bangsa : Pennales
Suku : Naviculaceae
Marga
: Pleurosigma
Jenis : Pleurosigma
sp (Nybakken,1992)
|
||
3
|
Kingdom : Plantae
Divisi
: Chrysophyta
Kelas
: Bacillariophyceae
Ordo : Coscinodiscales
Family : Coscinodisceae
Genus
: Coscinodiscus
Spesies : Coscinodiscus sp
(Nybakken,1992)
|
||
4
|
Kingdom : Plantae
Divisi
: Bacillariophyta
Kelas
: Bacillariophyceae
Bangsa : Centrales
Suku
:
Biddulphiaceae
Genus : Biddulphia
Spesies
:
Biddulphia sp
|
||
5
|
Kingdom : Plantae
Divisi : Bacillariophyta
Kelas : Bacillariophyceae
Bangsa
: Pennales
Suku : Naviculaceae
Genus : Thallassiothrix
Spesies : Thallassiothrix sp
|
4.2 Pembahasan
Pada sampel plankton stasiun 13 yang diambil pada siang di perairan dekat
PLTU Tanjung Jati Jepara ditemukan jenis
fitoplankton berupa : Rhizosolenia sp, Pleurosigma sp, Coscinodiscus sp, Biddulphia sp, Thallassiothrix
sp. Dari ke lima spesies tersebut semuanya berasa lari kelas Bacillariophyceae.
Hal tersebut menurut beberapa literatur diperkirakan karena pada siang hari
fitoplankton sedang melakukan fotosintesis sehingga banyak ditemukan
fitoplankton dalam sampel yang diamati.
Hasil
ini dirasakan kurang variatif karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Lusia (2012) pada perairan Teluk Awur Jepara menemukan 16-22 genus dari kelas Bacillariophyceae
pada 4 periode. Sedangkan secara umum pada perairan tersebut di dominasi oleh
genus Bacillariophyceae (diatom). Sedangkangkan menurut Romimohtarto (1999)
kelimpahan diatom sangat mendominasi pada satu perairan karena diatom merupakan
produsen primer terbanyak di laut.
Sedangkan
penelitian oleh Thoha (2007) Ekosistem Perairan
Teluk Gilimanuk, Taman
Nasional, Bali Barat, kelimpahan fitoplankton di dominasi oleh genus Coscinodiscus,
Chaetoceros, Guinardia, Navicula, Pseudonitzshia. Perbedaan ini dipengaruhi
oleh adanya pola upwelling, cuaca yang berbeda ditambah lagi pada daerah
sampling terdapat PLTU dan berada di daerah estuarian sehingga mendapatkan masukan nutrien hal
tersebut juga mempengaruhi kelimpahan fitoplankton.
BAB 5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setelah
melakukan praktikum identifikasi terhadap plankton dengan materi fitoplankton
dapat disimpulkan:
-
Pada sampel fitoplankton,
ditemukan jenis fitoplankton yang beranekaragam
-
Fitoplankton yang banyak
ditemukan dalam pengamatan adalah jenis dari kelas Bacillariophyceae
Diatom
-
Pengklasifikasi
plankton dapat dilakukan dengan mengamati bentuk
morfologi dan habitat plankton tersebut.
-
Jenis fitoplankton yang
diambil dari estuari, tengah laut, dan sungai sangatlah berbeda karena pengaruh
dari komposisi nutrien yang terlaru di perairan tersebut sangat berbeda.
5.2 Saran
- Diharapkan pengambilan sampel tidak hanya satu waktu
saja, misal sampling di lakukan pagi hari, siang , sore, dan malam hari
sehingga kita dapat mebedakan kelimpahan fitoplankton di setiap waktunya.
Diharapkan pengawetan sampel di lakukan dengan baik, karena pada saat
diamati banyak sampel fitoplankton yang rusak.
DAFTAR PUSTAKA
jika ingin dapus kli di sini . .
Tag :
Marine Botanical,