Archive for 2017
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kelimpahan Fitoplankton
By : Oceanna Al-Bahry
Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kelimpahan Fitoplankton
(Sumber gambar : Mongabay.co.id)
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan planton terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Faktor fisika : cahaya, temperatur air, kekeruhan atau kecerahan, pergerakan air
2. Faktor Kimia : oksigen terlarut, PH, salinitas, nutrisi
Faktor fisika yang mempengaruhi plankton adalah
· Cahaya
Cahaya matahari merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan fitoplankton. Proses fotosintesis hanya mungkin dapat dilakukan oleh fitoplankton jika intensitas cahaya matahari mencukupi. Ini berarti fitoplankton sangat membutuhkan cahaya matahari dalam proses hidupnya. Jeluk air yang ditembus oleh cahaya dan jeluk tempat fotosintesis berlangsung dipengaruhi oleh penyerapan cahaya dalam kolum air, panjang gelombang cahaya, transparansi, pantulan dari permukaan air, letak lintang, dan musim. Intensitas cahaya diatas 50 % dan dibawah 50 % kemelimpahan fitoplankton sangat sedikit. Hal ini akan menyebabkan proses fotosintesis tidak berjalan dengan maksimal. Ada dua hal yang yang mendukung fenomena ini yaitu, pada intensitas cahaya yang tinggi, fotosintesis pada alga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena intensitas cahaya yang tinggi akan merusakkan klorofil, sehingga proses fotosintesis akan mengalami gangguan dan tidak berjalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya jika intensitas cahaya sangat rendah, maka proses fotosintesisnya juga tidak berjalan dengan baik, karena jumlah cahaya yang tidak mencukupi untuk melakukan proses fotosintesis (Castro dan Huber 2000; Goldman dan Horne 1983; Lionard 2005; Nybakken 1992).
Menurut Lerman (1986), di perairan samudra intensitas cahaya (sinar biru) dapat masuk sampai ke kedalaman 100 m. Perairan pantai atau paparan benua intensitas cahaya dapat masuk sampai ke kedalaman 20 m. Sedangkan di estuari secara umum adalah 1-6 m (Gambar 3). Akan tetapi hal ini juga sangat berkaitan erat dengan turbiditas estuari tersebut. Semakin tinggi turbiditasnya maka penetrasi cahaya yang masuk semakin sedikit, begitu juga sebaliknya. Setiap jenis fitoplankton memiliki perbedaan intensitas cahaya yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis (Cabrita et al, 1999; Castro dan Huber 2000; Lerman 1986; Nybakken 1992; Sumich 1999).
· Salinitas
Salinitas di estuari berfluktuatif secara dramatis dari waktu ke waktu. Ketika air laut dengan salinitas sekitar 35 ‰ bercampur dengan air tawar yang berasal dari sungai dengan salinitas 0 ‰. Proses percampuran ini kemudian membentuk gradien salinitas yaitu 5-30 ‰ yang merupakan nilai salinitas di estuari normal. Untuk dapat bertahan hidup di ekosistem estuari yang memiliki banyak variabel, fitoplankton yang hidup di estuari harus dapat beradaptasi dan bertoleransi dengan adanya fluktuasi salinitas. Distribusi dan kemelimpahan fitoplankton di estuari secara kontinyu berubah akibat adanya perubahan salinitas dalam waktu yang singkat, seperti pada saat masuknya aliran air tawar, pasang surut, dan masuknya air karena hujan. Sedangkan dalam jangka waktu yang lama, seperti naik dan turunnya permukaan air laut karena mencairnya es di kutub (Castro dan Huber 2000; Lerman 1986; Nybakken 1993; Sumich 1999).
Air laut yang asin selalu berada di bawah, dan mengalir membentuk lapisan garam. Lapisan garam ini bergerak mundur seterusnya mengikuti ritme pasang surut. Lapisan garam akan bergerak naik ke permukaan estuari pada saat pasang dan kemudian kembali pada saat surut. Jika suatu area yang mengalami pasang surut pada siang hari, maka organisme akan mengalami dua kali perubahan salinitas (Castro dan Huber 2000; Nybakken 1993; Sumich 1999).
· Turbiditas
Jumlah partikel-partikel suspensi yang terdapat dalam air di estuari pada setiap tahunnya adalah sangat besar, oleh sebab itu turbiditas di estuari sangat tinggi. Tingginya turbiditas terjadi pada saat tingginya suplai air dari sungai. Secara umum turbiditas rendah di sekitar mulut estuari, dimana jumlah air laut lebih besar. Pengaruh turbiditas adalah menyebabkan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air sangat rendah. Hal ini akan menyebabkan penurunan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Pada akhirnya hal ini akan mengurangi produktivitas estuari tersebut. (Castro dan Huber 2000, Nybakken 1993, and Sumich 1999).
· Nutrien
Tidak hanya carbon dioxida, air dan sinar matahari yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis. Banyak nutrien yang dibutuhkan fitoplankton untuk pertumbuhan dan reproduksi terutamanitrat (NO3-), ammonium (NH4+) dan phosphat (PO43-). Produktifitas primer yang dilakukan oleh fitoplankton sangat membutuhkan nutrien dalam jumlah besar. Nutrien yang paling banyak dibutuhkan adalah nitrogen dan phosphat. Nitrogen dibutuhkan untuk membuat asam amino dan asam nukleat, sedangkan phosphat diperlukan untuk membuat tenaga (ATP). Sehingga nutrien merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Selain nitrogen dan phosphat, fitoplankton juga membutuhkan bahan organik yang lainnya yaitu C, H, O, dan vitamin. Di lokasi yang nutriennya melimpah akan direspon dengan melimpahnya fitoplankton.
Fitoplankton memiliki mekanisme respon terhadap phosphat. Pada saat konsentrasi phosphat di perairan rendah maka fitoplankton akan mengeluarkan enzim alkaline phosphatases. Enzim ini dikeluarkan untuk membebaskan phosphat dari molekul organik. Ketika di perairan konsentrasi phosphatnya tinggi maka fitoplankton akan merespon dengan mekanisme luxury consumption. Mekanisme ini adalah mengambil PO4 dari perairan dan menyimpan phosphat tersebut dalam sel dalam bentuk granula PO4, dan akan digunakan jika kondisi phosphat di lingkungan sedikit atau kurang. Genus fitoplankton yang dapat melakukan Luxury consumption adalah Asterionella, selenastrum, dan cyclotella (Goldman dan Horne 1983)
· Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton. Intensitas cahaya dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan fitoplankton, sepanjang meningkatnya suhu. Reaksi fotosintesis pada fitoplankton memiliki batasan intensitas cahaya. Reaksi ini memiliki suhu tersendiri, kecuali suhu di bawah 5 0 C. Interaksi antara cahaya dan temperatur akan memberikan gambaran profil vertikal dari distribusi fitoplankton. Fitoplankton terdistribusi berdasarkan intensitas cahaya dan suhu. Suhu minimal fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis adalah 5 0 C. Semakin tinggi suhu dan semakin tinggi intensitas cahaya, maka proses fotosintesis semakin tinggi. Suhu maksimal fitoplankton melakukan fotosintesis adalah 300 C. Ini menggambarkan fitoplankton terdistribusi di gradien suhu dari 5 – 300 C. (Wetzel 2000).
Faktor kimia yang mempengaruhi plankton adalah
· Oksigen terlarut
Oksigen terlarut diperlukan oleh tumbuhan air, plankton dan fauna air untuk bernapas serta diperlukan oleh bakteri untuk dekomposisi. Dengan adanya proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri menyebabkan keadaan unsur hara tetap tersedia di perairan. Hal ini snagat menunjang pertumbuhan air, plankton dan perifiton (Mujib, 2010).
· PH
Derajat keasaman (ph) berpengaruh sangat besar terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan air sehingga sering digunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik atau tidaknya kondisi air sebagai media hidup.Apabila derajat keasaman tinggi apakah itu asam atau basa menyebabkan proses fisiologis pada plankton terganggu (Mujib, 2010).
· Salinitas
Salinitas berperanan penting dalam kehidupan organisme, misalnya distribusi biota akuatik.Menyatakan bahwa pada daerah pesisir pantai merupakan perairan dinamis, yang menyebabkan variasi salinitas tidak begitu besar. Organisme yang hidup cenderung mempunyai toleransi terhadap perubahan salinitas sampai dengan 15 ‰ (Nybakken 1992).
· Nutrisi
Nutrisi sangat berperan penting untuk pertumbuhan plankton, nutrisi yang paling penting dalam hal ini adalah nitrat ( NO3 ) dan phosphat ( PO4 ) phytoplankton mengkonsumsi nitrogen dalam banyak bentuk, seperti nitrogen dari nitrat, ammonia, urea, asam amino. Tetapi phytoplankton lebih cendrung mengkonsumsi nitrat dan ammonia. Nitrat lebih banyak didapati di dasar yang banyak mengandung unsur organik ketimbang dari air laut, nitrat juga bisa diperoleh dari siklus nitrogen. Nitrogen dari nitrat adalah salah satu unsur penting untuk pertumbuhan blue green alga dan phytoplankton lainnya (Mujib, 2010).
Baca juga artikel menarink mengenai laporan lengkap phytoplankton dan Daphnia : si kutu air raksasa untuk menambah wawasan.
Dan semoga artikel ini bisa bermanfaat jangan lupa share dan tinggalkan komen di bawah. salam bahari 🐬🐠🐟🐋😄
Baca juga artikel menarink mengenai laporan lengkap phytoplankton dan Daphnia : si kutu air raksasa untuk menambah wawasan.
Dan semoga artikel ini bisa bermanfaat jangan lupa share dan tinggalkan komen di bawah. salam bahari 🐬🐠🐟🐋😄
Mengenal Daphnia magna : si kutu air raksasa
By : Oceanna Al-Bahry
Daphnia merupakan udang-udangan yang telah beradaptasi pada kehidupan badan perairan yang secara periodik mengalami kekeringan. Oleh karena itu, dalam perkembangbiakannya (seperti halnya Artemia) dapat dihasilkan telur berupa kista maupun anak yang "dilahirkan". Telur berupa kista ini dapat bertahan sedemikian rupa terhadap kekeringan dan dapat tertiup angin kemana-mana, sehingga tidak mengherankan kalau tiba-tiba dalam genangan air disekitar rumah kita ditemukan Daphnia.
Menurut Pennak (1989), klasifikasi Daphnia magna adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Branchiopoda
Subkelas : Diplostraca
Ordo : Cladocera
Subordo : Eucladocera
Famili : Daphnidae
Subfamili : Daphnoidea
Genus : Daphnia
Spesies : Daphnia magna.
Jika di laut
Daphnia ini termasuk dalam holoplankton karena selama hidipnya dia bersifat
planktonik dan hanya memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil. Dalam keadaan
normal, dimana kualitas air sesuai dan jumlah pakan cukup terdia Daphnia akan
manghasilkan keturunannya tanpa kawin (aseksual/parternogenesis). Dalam
kondisi demikian hampir semua Daphnia yang ada adalah betina. Telur yang
tidak dibuahi ini berkembang sedemikian rupa dalam kantung telur di tubuh
induk, kemudian berubah menjadi larva. Seekor Daphnia betina bisa
menghasilkan larva setiap 2 atau 3 hari sekali. Dalam waktu 60 hari
seekor betina bisa menghasilkan 13 milyar keturunan, yang semuanya
betina. Tentu saja tidak semua jumlah ini bisa sukses hidup hingga dewasa,
keseimbangan alam telah mengaturnya sedemikian rupa dengan diciptakannya
berbagai musuh alami Daphnia untuk mengendalikan populasi mereka.
Daphnia muda mempunyai bentuk mirip dengan bentuk dewasanya tetapi belum
dilengkapi dengan "antena" yang panjang.
Apabila
kondisi lingkungan hidup tidak memungkinkan dan cadangan pakan menjadi sangat
berkurang, beberapa Daphnia akan memproduksi telur berjenis kelamin
jantan. Kehadiran jantan ini diperlukan untuk membuahi telur, yang
selanjutnya akan berubah menjadi telur tidur (kista/aphippa). Seekor
jantan bisa membuahi ratusan betina dalam suatu periode. Telur hasil
pembuahan ini mempunyai cangkang tebal dan dilindungi dengan
mekanisme pertahanan terhadap kondisi buruk sedemikian rupa. Telur
tersebut dapat bertahan dalam lumpur, dalam es, atau bahkan kekeringan.
Telur ini bisa bertahan selama lebih dari 20 tahun dan menetas setelah
menemukan kondisi yang sesuai. Selanjutnya mereka hidup dan berkembang
biak secara aseksual. Dan begitu seterusnya. Gambar berikut menunjukkan
ilustrasi siklus hidup Daphnia seperti diuraikan diatas.
Baca juga artikel menarink mengenai phytoplankton untuk menambah wawasan.
Dan semoga artikel ini bisa bermanfaat jangan lupa share dan tinggalkan komen di bawah. salam bahari 🐬🐠🐟🐋😄
Dan semoga artikel ini bisa bermanfaat jangan lupa share dan tinggalkan komen di bawah. salam bahari 🐬🐠🐟🐋😄
Cacing tabung aneh hanya hidup laut dalam Indonesia
By : Oceanna Al-Bahry
(sumber : araku.ac.ir)
Cacing tabung aneh laut terdalam
Pada tahun 1900, cacing tabung yang tinggal aneh itu dikeruk dari perairan dalam di sekitar Indonesia. Sementara agak menyerupai tabung yang tinggal annelida, ia tidak memiliki segmentasi yang jelas, bahkan lebih anehnya, ia juga tidak memiliki mulut, usus, atau anus. Ini adalah penemuan pertama dari Pogonophora, sebuah filum hewan terbatas pada laut dalam dan sangat umum di habitat tertentu di sana.
Sekitar 80 pogonophoran spesies yang dikenal saat ini, dengan spesies baru masih ditemukan. Salah satu penemuan zoologi paling spektakuler tahun belakangan ini adalah temuan pada tahun 1977 cacing raksasa pogonophoran, 1,5 meter panjang, tumbuh di air dipanaskan, belerang-kaya di sekitar air hangat ventilasi di Samudra Pasifik, 2600 meter di bawah permukaan (digambarkan di kanan). Cacing ini kadang-kadang ditempatkan dalam filum mereka sendiri, Vestimentifera, tetapi mereka mirip dengan pogonophorans dalam banyak hal, dan kecenderungan saat ini adalah untuk mengelompokkan keretakan-cacing tinggal bersama-sama dengan sisa Pogonophora menjadi satu filum.
The Pogonophora nama Yunani untuk "jenggot-pembawa," dan berasal dari fakta bahwa banyak spesies memiliki dari satu ke banyak tentakel di ujung anterior. Ini tentakel agak menyerupai lophophore ditemukan pada hewan seperti brakiopoda dan bryozoa, serta tentakel makan dari chordates tertentu. Anatomi tidak lengkap diketahui dari pogonophorans ditafsirkan untuk menunjukkan bahwa pogonophorans adalah kerabat chordate. Karena pogonophorans hidup dengan berakhir lebih rendah terkubur dalam lumpur, dan rusak selama proses pengerukan, itu tidak sampai 1964 bahwa pogonophoran lengkap telah pulih. Ternyata pogonophorans memiliki ujung posterior tersegmentasi tubuh - opisthosoma tersebut - yang dikenakan setae dan menyerupai tubuh Annelida. Bagian depan dari tubuh, atau prosoma, adalah unsegmented. Karena opisthosoma tersegmentasi, dan karena pogonophoran larva telah ditemukan terlihat sangat mirip larva annelida, pogonophorans sekarang dianggap sebagai kerabat dekat dari annelida, dan diklasifikasikan dengan mereka dalam kelompok yang lebih besar, para Trochozoa.
Bagaimana pogonophorans pakan tanpa mulut atau usus? Beberapa nutrisi disediakan dengan menyerap nutrisi langsung dari air dengan tentakel. Tapi sebagian besar nutrisi yang pogonophoran yang disediakan oleh bakteri simbiotik yang hidup di dalam cacing, dalam organ khusus yang dikenal sebagai trophosome yang berkembang dari usus embrio. Di dalam trophosome tersebut, bakteri ini mengoksidasi sulfur yang mengandung senyawa seperti hidrogen sulfida, yang pogonophorans menyerap melalui tentakel mereka - warna merah terang dari celah-tinggal tentakel pogonophoran adalah karena hemoglobin, yang menyerap baik sulfida dan oksigen untuk penggunaan bakteri. Bakteri memperoleh energi dari oksidasi sulfur, yang mereka gunakan untuk memperbaiki karbon menjadi molekul organik yang lebih besar, di mana feed pogonophoran.
Catatan fosil dari pogonophorans dapat memperpanjang kembali ke Periode Vendian, tabung tipis panjang yang dikenal sebagai sabelliditids telah ditemukan di batuan dari usia itu, dan agak menyerupai tabung pogonophoran. Namun, penelitian pada struktur sabelliditid telah terbukti meyakinkan dalam menentukan apa fosil itu. Sebuah fosil yang pogonophoran-seperti tabung telah muncul dalam bentuk deposito kemudian (misalnya Adegoke 1967), namun pogonophorans umumnya cukup langka sebagai fosil.
Juga, dikenal sebagai A filum yang sama sekali tidak diketahui sampai abad
kedua puluh "Cacing Beard.". Mereka adalah tabung yang tinggal
cacing, yang ditemukan di seluruh lautan di dunia. Mereka ditemukan di laut
dalam lubang angin hidrotermal dan merembes air dingin pada kedalaman 200m atau
lebih. Dari semua 120 spesies sejauh dijelaskan, semua kelautan. Mereka adalah
sessile, hidup dalam tabung chitinous panjang. Pogonophora meluas membanggakan
nya (akhir anterior) keluar untuk mendapatkan beberapa nutrisi dan fungsi dalam
pertukaran gas. Biasanya pogonophora adalah antara 5 - 20 cm panjang dan 1 mm,
meskipun ada penemuan Vestimenferians yang sampai 1,5 m panjang dan 4 cm
diameter.
Mereka memiliki tubuh
yang terdiri dari segumpal tentakel digunakan untuk memperoleh nutrisi dan
hidrogen sulfida, sebuah daerah kelenjar yang berisi gonad mereka dan membuat
mereka stabil dalam tabung mereka, sebuah daerah batang, yang merupakan bagian
terpanjang dari tubuh pogonophoran, dan berisi sepasang rongga selom terganggu,
sejumlah papila, 2 wilayah rekonsiliasi, dan 2 girdle dari setae, dan
opisthoma, atau wilayah bulat kecil, yang tersegmentasi dan digunakan untuk
menggali ke dalam substrat. Opisthoma ini tidak ditemukan untuk menjadi bagian
dari anatomi pogonophora sampai pertengahan tahun enam puluhan.
Mereka gonochoristic, yang berarti bahwa mereka memiliki dua jenis kelamin yang
berbeda. Mereka lebih suka maju sistem peredaran darah dan saraf. Sistem
peredaran darah mereka ditutup dan termasuk jantung kompleks. Mereka memiliki
otak kecil dan saraf kabelnya ventral yang mencapai dari otak mereka ke dalam
opisthoma mereka. Mereka berkembang secara protostomic dan tubuh mereka
mengandung sepasang rongga selom. Yang menarik untuk dicatat di sini adalah
bahwa mereka tidak baik usus dan mulut. Sebaliknya, mereka telah mengembangkan
sebuah organ yang dikenal sebagai trophosome, yang dipenuhi dengan bakteri
chemoautotrophic, yang hidup dalam hubungan simbiosis mutualistically dengan cacing.
Karena cacing hidup di
samping ventilasi hidrotermal, yang melepaskan hidrogen sulfida, mereka telah
beradaptasi tiga jenis hemoglobin untuk mentransfer sulfat ke trophosome mereka
untuk dikonversi menjadi karbohidrat oleh bakteri. Warna merah mencolok bulu
mereka adalah karena jumlah besar hemoglobin dalam tentakel mereka untuk tujuan
ini. Hemoglobin pogonophoran dapat secara bersamaan dan reversibel mengikat
oksigen dan sulfida di dua lokasi yang berbeda. Dengan demikian, hemoglobin
melindungi jaringan hewan dari toksisitas sulfida dengan mengikat sulfida
dengan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan oksidase sitokrom c, yang
bertanggung jawab atas efek racun.
Pogonophora berada di
saat dianggap filum mereka sendiri, namun hal ini telah datang ke pertanyaan
baru-baru ini dengan kedua penemuan wilayah tersegmentasi dari tubuh mereka,
opisthoma, dan studi yang menghubungkan urutan alpha factor-1 elongasi untuk
menjadi serupa dengan yang ditemukan dalam Annelida Filum. Bahkan, dalam buku
teks kita sendiri (Pechenik), Pogonophora terdaftar sebagai kelas dalam
Annelida Filum.
Tag :
Marine Biology,
Marine ivertebrates,